Hati-hati mereka yang kini terdaftar dalam daftar caleg tetap (DCT) karena jika gagal meraih kursi legislatif itu, bisa saja terkena stroke atau bunuh diri. Ini bukan menakut-nakuti, tetapi merupakan prediksi yang dikemukakan oleh dokter ahli jiwa.
Menurut Teddy Hidayat, dokter ahli jiwa dari Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, yang melakukan penelitian terhadap para caleg yang tidak lolos. Hasilnya daya tahan mereka (caleg) tak bagus. Bisa saja mereka gampang kena stres, bahkan gila.
Fenomena ini disebabkan berbagai hal, di antaranya daya tahan mereka tidak kuat sehingga susah menerima kenyataan buruk bahwa mereka kalah. Kemudian mereka merasa didera rasa cemas, susah tidur, gelisah, sedih, putus asa, merasa tak berguna, dan kemungkinan terburuk mereka bisa bunuh diri.Namun ada juga yang berkhayal menjadi seorang presiden, anggota DPR, malaikat dunia, inilah yang disebut gila.
Sebenarnya, yang dikemukakan dokter jiwa itu bukan hal baru. Pada Pemilu 2004 banyak Caleg di Jawa Tengah yang menderita penyakit kejiwaan skizofrenia dan antisosial. “Temuan itu didasarkan pada general check up yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Boyolali. Dari 500 lebih caleg yang diperiksa,” kata Kepala RSU. Selain itu 24 orang masih dicurigai dan tujuh orang dipastikan menderita jenis penyakit kejiwaan itu. Para caleg itu bukan saja berasal dari Boyolali, melainkan juga dari Salatiga, Sukoharjo, dan Kendal.
Seorang skizofrenik tidak hanya “bukan siapa-siapa”, dalam arti bukan sekadar tak memiliki identitas pribadi, melainkan juga tak berbuat apa-apa. Seseorang yang mempunyai rencana berarti ia harus mampu melibatkan diri kepada kontinuitas tertentu atas waktu.
Pemilu merupakan saat yang tepat untuk memilih wakil-wakil di legislatif dan eksekutif secara benar sehingga kelak diperoleh yang berkualitas. Namun pada sisi lain caleg yang ditawarkan parpol sebagian sudah menunjukkan tanda tak berkualitas.
Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan, mengapa mereka bisa lolos? Sepatutnya dipertanyakan model perekrutan caleg ini. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa perekrutan caleg ini disertai kebijakan “pungutan”atau dengan bahasa halus kontribusi buat partai. Ini bisa dimaklumi, sebab tidak semua parpol kaya. Tak sedikit yang kelimpungan cari dana untuk bisa berkampanye nanti
Gejala ini yang membuat “siapa punya uang, dialah berpeluang menjadi caleg” dan urusan kualitas belakangan. Jangan bicara idealisme di sini, justru mesti memafhumi kapitalisme. Perjuangan demi rakyat dikesampingkan. Tujuan utama duduk di legislatif adalah “bekerja” dan parlemen adalah jenis “pekerjaan” yang cepat mendatangkan uang.Apa yang bisa diharapkan dari caleg penderita -mereka yang tanpa identitas diri, tanpa berbuat apa-apa, dan tanpa melihat masa lalu demi masa depan? Sosok macam ini akan sulit menununjukkan etos kerja yang tinggi. Ia bukan menjadi cermin jernih bagi masyarakat, melainkan malah membebani masyarakat.
Padahal untuk mencegah bangsa menjadi benar-benar hancur, salah satunya adalah mendongkrak etos kerja. Makna etos kerja di sini tetaplah bermuara pada kepentingan rakyat banyak. Etos kerja yang dimaksud bukan demi memompa semangat mengumpulkan kekayaan pribadi.
Dua hal itu, etos kerja yang rendah dan korupsi yang merajalela, diprediksi bakal membuat bangsa Indonesia bakal kian tertinggal jauh dibandingkan bangsa lain di Asia. Karena itu, satu-satunya kunci untuk menangkal prediksi itu adalah seorang pemimpin yang mampu memberantas praktik korupsi dan meningkatkan etos kerja bangsa Indonesia.
Mumpung belum terlanjur, kita memang perlu melihat caleg itu seteliti mungkin. Kalau memang terkena gejala skizofrenia itu, ya lebih baik kita coret. Sebaliknya bagi para caleg, ingat akan kemampuan. Jangan memaksa diri. Sebab, kalau nanti tak jadi anggota legislatif, jangan-jangan skizofrenia itu sungguh-sungguh riil menjadi gila. Malu kan kalau gila gara-gara gagal nyaleg? ( sumber Harian Joglo Semar)
Posting Komentar